Algiers - Terinspirasi oleh revolusi di Tunisia dan Mesir, demonstrasi kian marak di sejumlah negara. Termasuk Aljazair yang juga dilanda aksi demo menuntut pengunduran diri Presiden Abdelaziz Bouteflika.
Para pemimpin oposisi menyerukan untuk kembali menggelar aksi demo di Algiers, ibukota Aljazair. Mereka tak peduli meski di negeri itu telah lama diberlakukan larangan demonstrasi.
Para demonstran akan kembali turun ke jalan pada Jumat, 18 Februari mendatang. Demikian disampaikan koalisi partai-partai oposisi, National Co-ordination for Change and Democracy (CNCD) usai menggelar rapat kepemimpinan seperti diberitakan AFP, Senin (14/2/2011).
Sebelumnya pada Sabtu, 12 Februari lalu, aksi demo yang dilakukan sekitar 2 ribu orang berhasil dibubarkan oleh pasukan keamanan Aljazair. Saat itu, hampir 30 ribu polisi membubarkan para demonstran yang berjalan dari Lapangan 1 May menuju Lapangan Martyrs.
Dalam peristiwa itu, polisi menangkap 14 demonstran. Namun menurut kelompok oposisi, 300 orang ditangkap saat itu.
Pada Minggu, 13 Februari kemarin, aksi demo juga terjadi di kota lain Aljazair, Annaba. Dalam aksi itu, empat polisi mengalami luka-luka ringan saat terjadi bentrokan dengan para demonstran muda di luar gedung pemerintah setempat.
Juru bicara CNDC Khalil Moumene mengecam apa yang disebutnya kebrutalan pasukan keamanan dan penangkapan para aktivis oposisi.
Menanggapi aksi demo ini, pemerintah Amerika Serikat dan Jerman meminta otoritas Aljazair untuk tidak bersikap berlebihan.
"Kami mencatat aksi protes yang berlangsung di Aljazair, dan meminta untuk mengendalikan diri di pihak badan-badan keamanan," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS Philip Crowley.
"Kami menegaskan kembali dukungan kami akan hak-hak universal rakyat Aljazair, termasuk berkumpul dan berekspresi," tandas Crowley dalam statemennya.
Menteri Luar Negeri Jerman Guido Westerwelle juga mengingatkan otoritas Aljazair untuk tidak melakukan kekerasan terhadap para demonstran.
"Ada para demonstran yang menginginkan kebebasan, yang cuma ingin menerapkan HAM, untuk mengetahui hak untuk membela sudut pandang mereka dengan bermartabat," tutur Westerwelle pada stasiun televisi lokal, ARD.
Aksi demo massal telah dilarang di Aljazair berdasarkan UU keadaan darurat yang diberlalukan sejak tahun 1992 silam. Sejak itu, aksi protes hanya diizinkan dengan basis kasus per kasus di luar ibukota Aljazair, Algiers.
CNDC bersikeras menuntut pengunduran diri Presiden Abdelaziz Bouteflika dikarenakan tingginya pengangguran serta melambungnya harga rumah dan harga-harga lainnya di negeri itu. Kondisi itu menyebabkan timbulnya kerusuhan pada awal Januari lalu yang menewaskan lima orang dan melukai lebih dari 800 orang.
Para pemimpin oposisi menyerukan untuk kembali menggelar aksi demo di Algiers, ibukota Aljazair. Mereka tak peduli meski di negeri itu telah lama diberlakukan larangan demonstrasi.
Para demonstran akan kembali turun ke jalan pada Jumat, 18 Februari mendatang. Demikian disampaikan koalisi partai-partai oposisi, National Co-ordination for Change and Democracy (CNCD) usai menggelar rapat kepemimpinan seperti diberitakan AFP, Senin (14/2/2011).
Sebelumnya pada Sabtu, 12 Februari lalu, aksi demo yang dilakukan sekitar 2 ribu orang berhasil dibubarkan oleh pasukan keamanan Aljazair. Saat itu, hampir 30 ribu polisi membubarkan para demonstran yang berjalan dari Lapangan 1 May menuju Lapangan Martyrs.
Dalam peristiwa itu, polisi menangkap 14 demonstran. Namun menurut kelompok oposisi, 300 orang ditangkap saat itu.
Pada Minggu, 13 Februari kemarin, aksi demo juga terjadi di kota lain Aljazair, Annaba. Dalam aksi itu, empat polisi mengalami luka-luka ringan saat terjadi bentrokan dengan para demonstran muda di luar gedung pemerintah setempat.
Juru bicara CNDC Khalil Moumene mengecam apa yang disebutnya kebrutalan pasukan keamanan dan penangkapan para aktivis oposisi.
Menanggapi aksi demo ini, pemerintah Amerika Serikat dan Jerman meminta otoritas Aljazair untuk tidak bersikap berlebihan.
"Kami mencatat aksi protes yang berlangsung di Aljazair, dan meminta untuk mengendalikan diri di pihak badan-badan keamanan," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS Philip Crowley.
"Kami menegaskan kembali dukungan kami akan hak-hak universal rakyat Aljazair, termasuk berkumpul dan berekspresi," tandas Crowley dalam statemennya.
Menteri Luar Negeri Jerman Guido Westerwelle juga mengingatkan otoritas Aljazair untuk tidak melakukan kekerasan terhadap para demonstran.
"Ada para demonstran yang menginginkan kebebasan, yang cuma ingin menerapkan HAM, untuk mengetahui hak untuk membela sudut pandang mereka dengan bermartabat," tutur Westerwelle pada stasiun televisi lokal, ARD.
Aksi demo massal telah dilarang di Aljazair berdasarkan UU keadaan darurat yang diberlalukan sejak tahun 1992 silam. Sejak itu, aksi protes hanya diizinkan dengan basis kasus per kasus di luar ibukota Aljazair, Algiers.
CNDC bersikeras menuntut pengunduran diri Presiden Abdelaziz Bouteflika dikarenakan tingginya pengangguran serta melambungnya harga rumah dan harga-harga lainnya di negeri itu. Kondisi itu menyebabkan timbulnya kerusuhan pada awal Januari lalu yang menewaskan lima orang dan melukai lebih dari 800 orang.
KOMENTAR :
- Sebenarnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat, kinerjanya nanti akan selalu diawasi oleh rakyatnya.
- Tapi apabila seorang presiden sudah tidak bisa lagi menunjukkan kinerjanya kepada rakyatnya, serta rakyatnya sudah menunjukkan ketidak puasan. Jadi seharusnya perlu dilakukan pertimbangan secara khusus, tentang pergantian seorang presiden.
- Hal ini terjadi bukan hanya di mesir saja. Justru hal ini sudah merambah ke negara timur tengah lainnya, seperti di aljazair. Karena menurut saya rakyat aljazair sudah seharusnya menunjukkan haknya sebagai seorang manusia yang memilih pemimpinnya. Agar dapat memimpin negaranya beserta rakyatnya untuk waktu kedepan.
REFERENSI :
Artikel ini didapatkan dari :
http://www.detiknews.com
gambar di peroleh dari :
http://www.analisadaily.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar